لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْك

4 Pendapat Ulama Tentang Nyanyian

4 pendapat Ulama tentang nyanyian telah menjadi rujukan dalam perdebatan panjang tentang hukum musik dan nyanyian dalam Islam. Perbedaan pendapat mereka mencerminkan kekayaan khazanah fikih, sekaligus menjadi rambu penting bagi umat Islam agar lebih bijak dalam memilih hiburan. Ada yang menolaknya secara total, ada pula yang memberi ruang dengan syarat tertentu. Di tengah derasnya budaya populer, sobat ahlan perlu memahami pendapat-pendapat ini sebagai pijakan agar tak mudah terombang-ambing oleh arus.

4 Pendapat Ulama Tentang Nyanyian

Pendapat Pertama : Imam Abu Hanifah

Di antara 4 Ulama Madzhab yang mencela nyanyian, Imam Abu Hanifah dikenal memiliki pandangan paling keras. Beliau menyatakan bahwa mendengarkan nyanyian termasuk perbuatan makruh tahrim (mendekati haram), terlebih jika dilakukan terus-menerus hingga melalaikan. Murid-murid beliau bahkan menegaskan bahwa kesaksian seorang pelaku musik tidak dapat diterima dalam pengadilan syar’i.

Sobat ahlan yang menjadikan musik sebagai rutinitas perlu merenung, adakah nyanyian itu mendekatkan kepada kebaikan atau justru melalaikan dari ibadah? Bagi Imam Abu Hanifah, musik bukan sekadar suara—ia bisa menjadi penyakit hati bila tak dikendalikan.

Pendapat Kedua : Imam Malik

Menurut Imam Malik, musik dan nyanyian termasuk perkara yang dibenci oleh para ulama Madinah. Beliau berkata, “Jika seseorang membeli budak perempuan karena bisa bernyanyi, maka dia harus dipukul.” Hal ini menandakan betapa beliau menganggap nyanyian sebagai perkara tercela yang bisa membawa fitnah.

Sobat ahlan tentu dapat mengambil ibrah dari pandangan ini. Meski kehidupan modern menyajikan musik di mana-mana, tetap penting untuk menjaga hati. Musik boleh jadi menenangkan, tapi jika melalaikan, maka harus ditinggalkan.

Pendapat Ketiga : Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i, yang juga termasuk dalam daftar 4 Ulama Madzhab yang mencela nyanyian, menyatakan bahwa nyanyian adalah permainan yang tidak disukai. Ia bahkan menyamakan musik dengan kebatilan, dan menyebutnya sebagai “lagu yang diciptakan oleh orang-orang fasik.”

Namun demikian, sobat ahlan perlu mencermati bahwa Imam Syafi’i juga menekankan pada konteks dan niat. Jika nyanyian menjadi sarana dakwah atau motivasi dalam kebaikan, maka ia perlu dilihat secara kontekstual. Meski pendapat dasarnya cenderung menolak, ada ruang ijtihad bila ditempatkan secara proporsional.

Pendapat Keempat : Imam Ahmad bin Hanbal

Di antara 4 Ulama Madzhab yang mencela nyanyian, Imam Ahmad bin Hanbal memiliki pendirian yang tegas. Beliau menganggap nyanyian sebagai sumber kerusakan dan pelalaian dari kebaikan. Dalam banyak riwayat, beliau tidak menyukai bahkan mendengarnya, kecuali dalam bentuk syair yang baik tanpa musik.

Sobat ahlan, dalam kehidupan sehari-hari, kita tak bisa memungkiri kehadiran musik. Namun dari pendapat Imam Ahmad, kita diajak untuk membatasi, menyeleksi, dan menjadikan nyanyian hanya sebagai alat, bukan kebutuhan. Jika mulai melalaikan dari Al-Qur’an dan dzikir, maka saatnya kita istirahat dari hiburan itu.

4 Ulama Madzhab yang mencela nyanyian, masing-masing memberikan dasar yang kuat dan alasan yang beragam. Meski konteks zaman terus berubah, prinsip dasar dalam menjaga hati tetap relevan. Musik bukan semata soal nada, tapi juga pesan dan pengaruhnya terhadap ruhani kita. Sobat ahlan, mari bersikap adil: tidak menolak mentah-mentah, tapi juga tidak menerima tanpa batas. Di tengah kehidupan modern yang penuh godaan, petunjuk dari para ulama menjadi pelita agar kita tetap teguh di jalan yang lurus.

 

$
590
Premium Hajj
$
890
Ramadan Umrah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Assalamu'alaykum warahmatullah wabarakatuh
Ahlan.
Apa yang bisa kami bantu?